Menjadi Manusia Tuhan - AceHoe- Live. co

AceHoe- Live. co

Blog Informasi terpilih khusus rakyat Aceh, Nasional Serta Dunia Internasional

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, June 15, 2016

Menjadi Manusia Tuhan

Ungkapan bahwa puasa memberi ruang untuk bisa merasakan derita kaum miskin, tampaknya perlu dibaca dengan hati-hati. Karena, meski terdengar mulia, pada dasarnya ungkapan ini mengandung asumsi-asumsi yang rawan disalah pahami.

Pertama, bila disikapi dengan legal-formal, ungkapan ini bisa menggiring orang untuk membaca puasa sebagai sekedar ritus bagi mereka yang secara sosial-ekonomi telah mapan, sehingga tidak wajib bagi mereka yang miskin.

Kedua, bila didekati secara moral, ungkapan ini malah bisa sekaligus dibaca sebagai semacam ‘penghinaan’ atas orang miskin. Paling tidak karena, dalam konteks ini, puasa bisa menjadi semacam ‘paket wisata’, dimana sekilas orang bisa ikut merasakan sensasi kemiskinan tanpa harus menjadi miskin.

Dengan semangat wisata, puasa akan tampak artifisial karena sekedar simulasi dari realitas kemiskinan, dan bukan kemiskinan itu sendiri. Orang yang berpuasa, meski tidak makan tidak minum dari subuh sampai maghrib, selalu punya kejelasan tentang kapan ia akan berbuka.

Sementara realitas kemiskinan tidak pernah menyodorkan kejelasan kapan seseorang bisa ‘berbuka’. Adanya jarak yang luar biasa jauh antara kejelasan ‘kelaparan’ orang yang berpuasa, dengan ketidak-jelasan ‘kelaparan’ orang miskin inilah yang membuat mereka yang berpuasa tidak serta merta berhak mengklaim diri telah mencecap pengalaman menjadi miskin.

Puasa memang tidak didesain sebagai simulasi kemiskinan, tapi justru untuk melahirkan manusia Tuhan. Dengan puasa orang dididik untuk mengambil jarak dengan dunianya (dilarang makan-minum misalnya); dan mengambil jarak dari dirinya (dilarang menuruti syahwat misalnya).

Jarak dari dunia dan diri ini sungguh sangat dibutuhkan, paling tidak agar orang mempunyai kesempatan untuk membebaskan diri dari cengkeraman ‘gravitasi bumi’, agar pada gilirannya mampu memposisikan keberadaannya pada posisi Tuhan.

Dalam perspektif ini, puasa pada dasarnya dimaksud sebagai medan metamorphosis, dimana manusia menanggalkan kerak keberadaan parsial dan partikularnya, untuk mencapai posisi ‘manusia Tuhan’ atau ‘manusia universal’ atau istilah kaum sufi ‘insan kamil’.

Ini adalah capaian puncak dari ketaqwaan, setelah manusia mampu menjaga dan mengendalikan efek-efek ‘gravitasi bumi’ yang beroperasi dalam keberadaannya. Kualifikasi ini pada gilirannya memungkinkan mereka merealisasikan fungsi sebagai ‘wakil Allah di bumi’ (khalifatullah fil ardhi) secara penuh.

Artinya, dia akan benar-benar mampu berperan sebagai wakil Allah, tanpa terkotori oleh kepentingan-kepentingan kemanusiaannya sendiri; sehingga mampu menjaga diri (terutama dari klaim-klaim artifisial ciptaan kemanusian parsialnya) dalam berhadapan dengan medan pluralitas kenyataan. Ini karena pada hakikatnya ‘manusia Tuhan’ bisa selalu bertelanjang untuk membaca ‘Tuhan’ dalam medan pluralitas realitas lewat ‘Tuhan’ di dalam dirinya.

Dasar dari ini semua adalah: Tuhanlah pemilik klaim universalitas sejati. Karenanya tak seorang atau satu kelompokpun berhak mengklaim universalitas ini bagi dirinya sendiri.

Menjadi ‘manusia Tuhan’, adalah posisi dimana orang punya kesempatan untuk berpartisipasi merealisasikan universalitas Tuhan dalam partikularitas ruang waktunya sendiri, tanpa harus memaksakan klaimnya atas universalitas itu sendiri.

Inilah yang secara teknis yang biasa disebut: hikmah. Tentu orang yang ber-Tuhan dengan cara ini mustahil saling menghancurkan; mereka justru akan saling mengayakan.

***

Anis Sholeh Ba’asyin, Pengasuh Suluk Maleman

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here